Minggu, 07 April 2013

Minggu, 07 April 2013: Cycling under the Drizzle

Hujan sudah terdengar mengguyur sejak Subuh. Pada waktu biasa, aku akan memilih merapatkan kembali selimut untuk melanjutkan tidur. Namun, pagi ini aku ada janji bertemu dengan teman-teman dari Akademi Berbagi (Akber) Pekalongan untuk membicarakan tentang kelas menulis yang akan mengundangku sebagai pengisi materi. Seusai salat, aku tidak lekas-lekas ganti bau sepeda, padahal waktu sudah menunjuk pukul 05.30, waktu biasanya aku mulai keluar dari rumah untuk mulai mengayuh. Selain karena gerimis di luar masih cukup besar, kuketahui dari suara tetesan air di atas genteng kamar, juga karena toh tidak akan tersedia banyak waktu untuk menyusuri jalur sepeda seperti biasanya yang butuh waktu rata-rata dua jam, karena aku janji ketemu pukul 7 di Lapangan Gemek, yang lokasinya hanya 2 kilometer dari rumah.

Pukul 6 aku baru mulai melakukan kayuhan pertama, aku arahkan sepeda ke barat, tidak ke timur seperti biasanya. Di bawah rintik gerimis aku mulai mereka-reka jalur untuk hari ini. Menyusuri jalur biasa tentu saja tidak mungkin. Dengan kecepatan rendah karena jalanan basah dan cipratan air dari roda depan sesekali mendarat di muka, aku kembali membelok ke arah barat, terus melaju ke arah Surobayan, terus ke Wonopringgo sambil sesekali melirik ke arah jam tangan. Akhirnya aku memutuskan untuk melalui jalur yang aku kira tidak butuh waktu lama. Di pertigaan Gondang aku membelok ke kanan, menyusuri jalur yang cukup lurus ke arah Bojong. Di sini aku mulai menambah kecepatan, sambil berkali-kali harus menghindari genangan yang menghadang. Jalanan sepi, pengendara motor ataupun pejalan kaki hanya sesekali muncul, anak-anak yang berangkat sekolah (hari Minggu sekolah agama tetap berlangsung, mereka libur pada hari Jumat) atau para orangtua yang mengantar anak-anak mereka.

Dengan kecepatan yang cukup kencang, di atas 20 km/jam, aku membelok kanan di pertigaan pasar Bojong, menyusuri jalan Kemasan yang berujung di pertigaan Surobayan. Belum ada satu kilometer berbelok di jalan ini, di depanku menghadang puluhan pesepeda onthel berseragam, yang tentu saja mengayuh dengan kecepatan rendah. Dari seragam mereka aku membaca para pengayuh sepeda itu berasal dari Wuled, Tirto. Kebanyakan dari mereka orang tua, hanya satu dua terlihat orang yang lebih muda. Menyalip puluhan pengonthel itu rasanya tidak elok. Akhirnya aku putuskan untuk menempel di barisan paling belakang. SMS tiba, menanyakan posisiku di mana. Seorang pengothel di barisan paling belakang perlahan menjajariku. Dia bilang, bagian punggung bajuku penuh dengan cipratan air dari roda belakang. Aku balas dengan senyum dan anggukan, lalu kami bertukar sapa barang sebentar.

Aku tetap berada di barisan paling belakang rombongan itu sampai di depan Lapangan Gemek dan langsung berbelok masuk. Keramaian di pasar kaget yang buka setiap hari Jumat dan Minggu itu tidak seperti biasanya, mungkin karena hujan. Teman dari Akber mengabarkan mereka sudah menunggu di depan Smandung, sekolah SMA-ku dulu. Aku pun langsung bergegas ke sana.

Akademi Berbagi Pekalongan merupakan sebuah komunitas yang bergiat dalam bidang kerelawanan dan pendidikan, yang sampai saat ini telah mengadakan beberapa kelas dengan pemateri yang kompeten di bidangnya. Demikian penjelasan Yayan, salah satu teman dari Akber Pekalongan yang aku temui pagi itu. Selain Yayan, ada April dan Farah, yang sudah bertukar sapa lewat Twitter. Begitu membaca tentang Akber, beberapa hari sebelumnya, aku penasaran dengan aktivitas mereka. Pastinya menarik. Yayan secara sekilas menjelaskan tentang Akber dan kelas-kelas yang telah mereka adakan. Untuk kelas bulan April ini mereka memintaku menjadi pengisi materi.
Lewat pertemuan yang singkat tetapi cukup akrab tersebut, dan disertai obrolan ringan di atas gelaran tikar sebuah penjual makanan, kami pun menyepakati jadwal kelas menulis, 21 April 2013, dengan pertimbangan bahwa pada minggu kedua April aku tidak ada waktu luang, karena sesuai rencana aku masih berada di Boja.
Sepeda kembali aku kayuh menyusuri jalan pulang, sementara titik gerimis masih berupa tempias. Rasanya, aku tidak sabar menunggu Jumat, ketika aku akan memulai perjalanan gowes buku, gowes sambil berbagi buku, dari Pekalongan menuju Boja, Kendal. Semoga segalanya berjalan lancar. 


Jumat, 05 April 2013

Jumat, 5 April 2013: Three Route in a Row

Seharusnya aku memulai menulis catatan-catatan bersepeda ini beberapa bulan lalu, sejak aku mulai sering bersepeda pada setiap Jumat dan Minggu. Tapi, yah, tetap tidak ada salahnya jika aku baru memulainya hari ini, daripada tidak memulai sama sekali.

Gowes kali ini mungkin gowes dengan rute terpanjang yang pernah aku lakukan, mungkin kurang lebih sama dengan rute menyusuri perbatasan barat (sampai Kesesi) dan perbatasan timur (sampai Batang) kabupaten Pekalongan. Kali ini aku menyusuri tiga rute sekaligus dari rute yang biasa aku lewati. Rute pertama adalah Kedungwuni--Pakis Putih--Rowocacing--Doro--Karanganyar--Wonopringgo--Kedungwuni, sejauh kurang lebih 20 km; Rute kedua adalah Kedungwuni--Wonopringgo--Kajen--Bojong--Surobayan--Kedungwuni, sejauh kurang lebih 25 km; dan rute ketiga adalah Kedungwuni--Surobayan--Bojong--Wiradesa--Pekalongan kota--Kedungwuni, sejauh kurang lebih 25 km. Gabungan dari ketiga rute tersebut menjadi: Kedungwuni--Pakis Putih--Rowocacing--Doro--Karanganyar--Kajen--Bojong--Wiradesa--Pekalongan kota--Kedungwuni, sejauh, dalam catatan spedometer sepeda, 60,5 km. 

Rute pertama adalah rute paling komplit, artinya, sepanjang jalurnya terdiri dari tanjakan, turunan, dan jalanan datar. Sedangkan rute kedua dan ketiga kebanyakan melalui jalanan datar. Kecepatan maksimum sewaktu menyusuri turunan di jalur Doro menuju Karanganyar adalah 38 km/jam. Sebenarnya bisa lebih tinggi lagi jika tidak dilakukan pengereman karena jalan yang relatif berliku. Dan kecepatan maksimum dalam perjalanan ini adalah 42 km/jam, sewaktu melaju di turunan yang relatif lurus di depan taman makam pahlawan Bojong. 

Sepanjang jalan, sering kali terlihat rombongan anak-anak berseragam berangkat sekolah, sementara di depan sekolah, para guru mereka menunggu di depan gerbang masuk, untuk dicium tangan oleh para murid-murid mereka. Sebuah pemandangan yang menyentuh.